Injil Markus dikenal luas sebagai salah satu teks kunci dalam Perjanjian Baru Kristen, namun juga dianggap sebagai karya sastra yang revolusioner. Pendekatan naratif dan kedalaman teologisnya menawarkan kontribusi unik dalam genre biografi kuno dan tulisan suci. Dimulai dengan deklarasi "permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah" (Markus 1:1), teks ini segera menetapkan nada untuk kisah yang mendalam dan transformatif yang mendefinisikan ulang arti "Injil" (εὐαγγέλιον) itu sendiri. Berbeda dengan tulisan-tulisan kuno lainnya, terutama dalam tradisi biografi Greko-Romawi, Injil Markus menonjol karena sintesis antara biografi, teologi, dan visi apokaliptik.
Salah satu elemen paling mencolok dari Injil Markus adalah penutupnya yang tiba-tiba. Naskah tertua dari Markus berakhir pada 16:8, di mana para perempuan yang mengunjungi makam Yesus menemukan bahwa makam itu kosong, dan bukannya menyebarkan berita kebangkitan, mereka melarikan diri dengan ketakutan, tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Penutup yang tidak konvensional ini menyimpang dari ekspektasi penutupan dalam narasi biografi kuno. Dengan mengakhiri cerita secara tidak selesai, teks ini mengundang pembaca masuk ke dalam narasi, meminta mereka untuk bergulat dengan ketidakpastian tersebut serta implikasi dari diamnya para tokoh. Ketidaklengkapan ini mengharuskan pembaca melanjutkan cerita dalam pemahaman mereka sendiri dan, mungkin, dalam hidup mereka. Dengan demikian, Injil ini menciptakan interaksi dinamis antara teks dan pembaca, yang jarang ditemukan dalam sastra kuno.
Ketiadaan penutup yang jelas ini telah memicu banyak perdebatan selama berabad-abad. Beberapa naskah kemudian menambahkan penutup tambahan untuk memberikan resolusi yang lebih memuaskan. Namun, penutup asli tetap sangat penting dalam memahami strategi teologis dan sastra teks tersebut. Ketakutan dan keheningan para perempuan mencerminkan misteri mendalam di sekitar kebangkitan Yesus dan rencana keselamatan Allah yang masih berlangsung di dunia. Kekagetan dari akhir yang tiba-tiba ini memaksa refleksi mengenai sifat iman itu sendiri, terutama tantangan untuk mempercayai yang tak terlihat dan yang tak selesai. Kompleksitas narasi semacam ini menunjukkan bahwa pesan Injil melampaui batasan satu cerita dan menjadi bagian dari misi ilahi yang lebih besar dan masih berlangsung.
Teknik naratif Markus semakin diperkaya dengan penggunaan bahasa dan citra apokaliptik yang menghubungkan kehidupan dan misi Yesus dengan peristiwa kosmik yang lebih besar. Sejak awal, Markus menggemakan narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian. Pemilihan kata “permulaan” (ἀρχὴ) di Markus 1:1, yang mengingatkan pada Kejadian 1:1, menandakan kepada pembaca bahwa kisah Yesus merupakan bagian dari narasi besar intervensi Allah dalam sejarah. Pelayanan Yesus, sebagaimana digambarkan dalam Markus, bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga penciptaan baru—intervensi ilahi yang akan berdampak kosmis. Koneksi ini memperkuat sifat apokaliptik dari Injil, di mana kedatangan Yesus menandai datangnya kerajaan Allah yang mengubah tidak hanya nasib manusia tetapi juga seluruh kosmos.
Dalam konteks budaya Yudaisme abad pertama, pandangan apokaliptik sangat tertanam dalam pemikiran religius. Pandangan dunia ini, yang mengantisipasi campur tangan Allah yang segera untuk menggulingkan kekuatan-kekuatan penindas dan mendirikan pemerintahan ilahi, memainkan peran sentral dalam penggambaran Yesus oleh Markus. Pengajaran, mukjizat, dan terutama kematian serta kebangkitan Yesus dibingkai sebagai peristiwa apokaliptik yang mengganggu tatanan yang ada dan menandakan kedatangan kerajaan Allah. Tema-tema apokaliptik dalam Markus, seperti pengusiran setan, ramalan tentang kehancuran Bait Suci, dan penekanan pada kedatangan Anak Manusia, semuanya berkontribusi pada penggambaran Yesus sebagai figur penting dalam rencana eskatologis Allah.
Selain itu, penggunaan istilah "Injil" (εὐαγγέλιον) oleh Markus membawa makna politik dan teologis yang mendalam. Dalam dunia Romawi, istilah ini digunakan dalam proklamasi yang merayakan pemerintahan dan pencapaian para kaisar, terutama Augustus. Salah satu contoh yang mencolok adalah Prasasti Kalender Priene, yang merujuk pada kelahiran Kaisar Augustus sebagai awal dari "Injil" bagi dunia, yaitu masa damai dan kemakmuran yang dimulai oleh pemerintahan sang kaisar. Dengan menggunakan istilah ini, Markus menyajikan Yesus sebagai pembawa berita baik yang sesungguhnya, yang sangat bertentangan dengan klaim kekaisaran Romawi. Kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus merupakan Injil yang sebenarnya—pengumuman tentang kerajaan Allah, bukan Kaisar. Dengan cara ini, Injil menjadi narasi tandingan terhadap kekuasaan Romawi sekaligus pemenuhan harapan orang Yahudi akan campur tangan ilahi.
Redefinisi “Injil” ini menyoroti inovasi teologis dari teks ini. Alih-alih menyajikan biografi Yesus dalam tradisi Greko-Romawi, yang biasanya berfokus pada kebajikan dan perbuatan tokohnya, narasi Markus menekankan identitas Yesus sebagai Anak Allah dan tujuan ilahi di balik misinya. Mukjizat-mukjizat, pengajaran-pengajaran, dan pada akhirnya penyaliban Yesus merupakan bagian dari kisah teologis yang lebih besar tentang rencana Allah untuk keselamatan umat manusia. Yesus bukan sekadar guru moral atau pekerja mukjizat; dia adalah sosok melalui siapa Allah membawa penciptaan baru, perjanjian baru, dan hubungan baru dengan umat manusia. Inilah kabar baik, εὐαγγέλιον, yang disampaikan oleh Markus.
Selain itu, Injil Markus menunjukkan inovasi sastra yang signifikan dalam teksnya yang mendokumentasikan tradisi lisan tentang Yesus. Teks ini tidak hanya melestarikan kisah-kisah lisan tentang kehidupan dan pelayanan Yesus, tetapi juga mengubahnya menjadi narasi tertulis, menetapkan media baru untuk menyampaikan pesan tersebut. Transisi dari tradisi lisan ke teks tertulis ini sangat penting dalam perkembangan komunitas Kristen awal. Dengan mencatat Injil dalam bentuk tulisan, Markus memastikan bahwa pesan Yesus dapat diteruskan melintasi waktu dan ruang, menjangkau komunitas-komunitas yang jauh dari konteks geografis dan temporal pelayanan Yesus. Tekstualisasi Injil memungkinkan pesan tersebut dilestarikan dan disebarluaskan, memungkinkan ajaran Yesus berakar dalam berbagai latar budaya.
Kombinasi antara biografi, teologi, dan visi apokaliptik dalam teks ini juga menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Yesus dan harapan orang Yahudi pada masanya. Penggambaran Yesus sebagai pemenuhan nubuat-nubuat Yahudi, terutama melalui penggunaan kutipan dan alusi dari Perjanjian Lama, menempatkan Yesus dalam narasi yang lebih luas tentang sejarah Israel. Injil dimulai dengan kutipan dari Yesaya, menghubungkan misi Yesus dengan tradisi kenabian Israel. Sepanjang Injil, Markus menekankan bahwa kehidupan dan pekerjaan Yesus adalah puncak dari janji-janji Allah kepada umat-Nya, namun juga menantang ekspektasi konvensional akan Mesias politik atau militer. Yesus digambarkan sebagai hamba yang menderita, yang jalan menuju kemenangan datang melalui penderitaan dan kematian, bukan melalui penaklukan.
Kesimpulan
Injil Markus berdiri sebagai karya sastra yang mendalam dan revolusioner, yang merajut benang-biografi, teologi, dan ekspektasi apokaliptik. Struktur naratifnya, dari awal yang dramatis hingga akhir yang tiba-tiba, mengundang pembaca untuk terlibat secara aktif dengan teks, menantang mereka untuk menanggapi pesan Yesus dalam hidup mereka sendiri. Redefinisi Injil serta penggunaan citra apokaliptik menekankan sifat radikal dari misi Yesus dan signifikansi kosmik dari kehidupan, kematian, serta kebangkitannya.
Sumber
Byers, A.J., 2023. The Genre of Mark’s Gospel Is ‘Gospel’: Reconsidering Literary Innovation in the Markan Incipit. Journal for the Study of the New Testament, 46(2), pp.168-192.
Hurtado, L.W., 1990. The Gospel of Mark: Evolutionary or revolutionary document?. Journal for the Study of the New Testament, 13(40), pp.15-32.
Comments