Dalam Kitab Nahum dari Perjanjian Lama, penggunaan imaji air memiliki peran sentral dalam menggambarkan pertempuran spiritual antara YHWH dan kerajaan Assyria. Imaji air digunakan untuk melambangkan kekuatan ilahi yang tak terbantahkan dan kelemahan manusia, serta untuk menyoroti dinamika gender yang kompleks dalam konteks kisah ini.
Pertama-tama, YHWH digambarkan sebagai pejuang yang perkasa dan maskulin dalam Nahum. Kitab ini memulai dengan pujian terhadap YHWH sebagai "Allah yang cemburu dan dendam" (Nahum 1:2), yang memiliki kekuasaan untuk menghakimi dan membalaskan dendam-Nya. Dalam ayat 1:4, YHWH digambarkan sebagai yang "mengancam laut dan mengeringkannya, dan membuat semua sungai menjadi kering". Ini menciptakan gambaran YHWH sebagai penguasa alam yang memerintah bahkan atas elemen-elemen alamiah yang paling dahsyat, menegaskan supremasinya sebagai dewa perang yang tak tertandingi.
Sebagai kontras, Nineveh, ibu kota Assyria, dipersonifikasi sebagai figur perempuan yang lemah dan rentan dalam kitab ini. Gambaran ini dimulai dengan penggambaran Nineveh sebagai "kota yang penuh dengan kedurhakaan" (Nahum 3:1), yang kemudian digambarkan sebagai "kota yang duduk di sungai-sungai" (Nahum 3:8). Pencitraan ini menggunakan imaji air untuk menunjukkan kekuatan dan kerentanan Nineveh secara bersamaan. Meskipun dikelilingi oleh air yang melambangkan kekuatan dan perlindungan, Nineveh dihadapkan pada ancaman kehancuran yang tak terelakkan.
Penggunaan imaji air dalam Nahum juga menggambarkan kompleksitas dinamika gender dalam konteks kisah ini. Nineveh, sebagai figur perempuan, digambarkan dalam kedudukan yang tinggi tetapi juga rentan terhadap penghinaan dan kejatuhan. Ketika Nahum mengekspresikan penghinaan YHWH terhadap Nineveh dengan perumpamaan penghinaan seksual dalam Nahum 3:5-7, gambaran ini tidak hanya menggambarkan keruntuhan fisik kota tetapi juga peremajaan kekuasaan feminin Nineveh. Ini menciptakan sebuah narasi yang menantang asumsi-asumsi patriarkal tentang kekuatan dan kelemahan antara entitas maskulin dan feminin dalam teks-teks kuno.
Secara struktural, penggunaan imaji air memberikan kekohesian dalam narasi Nahum yang terdiri dari berbagai gaya sastra, seperti puisi dan prosa. Penggunaan motif air membantu mempertahankan tema sentral kekuatan YHWH dan kelemahan Assyria secara terintegrasi. Misalnya, Nahum 1:2-8, yang ditempatkan dalam struktur awal yang lebih terintegrasi, menekankan keadilan ilahi dan kemenangan militer melalui imaji air, menciptakan hubungan yang terjaga antara bagian-bagian teks yang berbeda dalam kitab ini.
Model komposisional Nahum, yang dianjurkan oleh beberapa sarjana, mengamati bahwa penambahan berbagai bagian teks (seperti Nahum 1:2-8) memperkuat tema-tema yang sudah ada sebelumnya dalam teks-teks yang lebih awal. Penambahan ini mempertahankan fokus terhadap imaji air sebagai motif sentral yang memperkuat naratif tentang keadilan ilahi dan kemenangan YHWH atas Assyria.
Kesimpulan
Penggunaan imaji air dalam Kitab Nahum bukan hanya berfungsi sebagai alat sastra untuk menggambarkan pertempuran spiritual dan kekuasaan ilahi, tetapi juga mempertanyakan dan menantang pandangan biner patriarkal tentang gender. Nineveh, sebagai simbol feminin yang kuat tetapi juga rentan, membawa kompleksitas dalam narasi Nahum yang menunjukkan bahwa kekuatan dan kelemahan bisa ditemukan di antara kedua jenis kelamin. Ini memberikan sudut pandang yang lebih dalam dan nuansa yang kompleks terhadap dinamika gender dalam teks-teks kuno ini, menjadikannya relevan tidak hanya dalam konteks religius tetapi juga sosial dan budaya.
Sumber:
留言